Gunung Andong, Peremehan | Jurnal #4 - Sajak Aksara

Gunung Andong, Peremehan | Jurnal #4

Pendakian Gunung Andong Via Pendem
Instagram @andongviapendem


Terselamatkan oleh nasib yang baik, tetapi jalur jalur bersemak semakin tak terlihat dan kehilangan arah, tidak ada lagi pandangan dari kejauhan.”

Sepertinya saya sudah ketagihan dengan yang satu ini. Kata mereka candu (Ini sedikit berlebihan) sudah mulai tumbuh, sebentar lagi akan menjadi kegiatan yang berkelanjutan. Sangat susah untuk berhenti. Akan ada masanya menyempatkan waktu walau tak ada demi kegiatan yang satu ini. Saya benar benar sudah ketagihan dengannya.

Yusta, lagi lagi dia menjadi teman pendakian untuk keempat kalinya. Sebelum pemberangkatan menuju basecamp Pendem Gunung Andong, kami harus terlebih dahulu menunggu kedatangan Yusta dari Semarang. Dia berkuliah di tempat tersebut. Rencana awal berangkat adalah sore, tetapi karena dia baru datang setelah isya, barulah kami berangkat.

Dan lagi kami berenam berangkat pada gelapnya malam menyusuri jalan magelang menuju basecamp dengan suasana dingin. Andong sebenarnya pilihan kedua setelah gunung Prau, mengingat ke gunung Prau amatlah jauh dari Jogja dan ini sudah malam. Kami memutuskan naik Andong saja yang jaraknya cukup dekat.

Sesampai di basecamp pikirku tidak akan ada pendaki lagi. Ternyata masih ada juga yang melakukan pendakian malam selain kami. Simaksi sebesar sepuluh ribu rupiah untuk setiap pendaki. Ini terbilang murah dari simaksi dari gunung gunung lainnya.

Sebelum ke gunung ini, saya menyempatkan melihat foto foto orang di gunung tersebut. Dan saya baru tahu kalau gunung ini adalah gunung dengan ketinggian terpendek yang ada di Jawa Tengah. Tingginya hanya mencapai 1762 MDPL.

Karena kami naik malam, kami memilih jalur yang cepat sampai ke puncak untuk langsung mendirikan tenda. Dari jalur sawit ini, terbagi dua jalan, yang kanan dan yang kiri. Kalau yang kiri itu langsung menanjak naik, sedang yang kanan santai memutar tapi lebih lama. Dan kami memilih yang kanan.

Dalam pikiranku ketika mendaki untuk yang keempat kalinya ini, mungkin saya akan biasa saja dan tidak terlalu ngos ngosan seperti pada gunung sebelumnya. Start awal kaki dan nafas masih seimbang berjalan, santai. Tetapi setelah masuk 1000 MDPl, perut dan kepala mulai tidak bersahabat. Aduh, jangan sampai peristiwa yang di gunung Merapi kemarin terulang lagi di gunung Andong.

Dan benar saja, karena memaksakan diri untuk tidak beristirahat akhirnya saya muntah persis waktu melewati gerbang selo gunung Merapi kala itu. Untung saja ada Yusta yang memijiti kepalaku, perlahan rasa sakit dan mualpun hilang. Ternyata setelah muntah sekali tadi, perasaan menjadi lega dan stamina tiba tiba saja kembali membaik. Ini adalah kabar yang baik.

Dinginnya gunung Andong tak sedingin dengan gunung Merapi, disini suhu dinginnya terbilang lebih rendah ketimbang gunung sebelum yang kudaki. Mungkin saja dengan ketinggian ini gunung Andong tak memiliki suhu dingin yang lebih rendah dari gunung lainnya.

Pendirian tenda berada tepat pada puncak gunung Andong sendiri, tidak dengan gunung sebelumnya, puncak tidak bisa dijadikan sebagai tempat mendirikan tenda. Teman teman yang lain sudah berada jauh di depan sana, sedang saya dan Yusta masih di belakang. Puncak belum juga terlihat.


Setelah sebelum mencapai puncak, saya sejenak duduk dan menghadap  kedepan melihat indahnya rasi bintang, sesekali juga cahaya lampu rumah warga dibawah sana kulirik. Sebenarnya sudah sejak dari tadi saya menginginkan hal ini, saya ingin sekali menikmatinya. Namun kepala dan perut yang bergerutu sakit. Akhirnya kupaksakan jalan saja.

Sungguh indah berada disini, semuanya terlihat lepas tanpa kandas. Tiada kabut yang menghalangi pandangan seperti di Gunung Merapi waktu itu. setelah menikmati keindahan ini, saya berlalu bersama Yusta untuk segera menyusul kedepan. belum saja melangkah jauh. Puncak sudah melambaikan tangan kepada kami. Itu dia puncak Alap Alap Gunung Andong.

Oh ya, gunung Andong ini memiliki dua puncak. Puncak tertingginya ada di puncak Andong, sedang puncak yang lain ada di tempat kami akan mendirikan tenda malam ini. Ini adalah pendakian tercepat yang pernah kami lakukan, hanya butuh waktu dua jama saja kami sudah berada di atas gunung ini. Mengingat dengan ketinggian gunung yang lebih rendah ini.

Malam masih panjang, tak mau kami sia siakan hanya dengan tidur. Akhirnya untuk menunggu mata mengantuk, kami bercerita, gibah, tertawa didalam tenda ukuran lima orang ini. orang orang yang menjadi bahan gibah selalu saja ada dan tak pernah habis.

Sepagi ini, orang orang telah ramai ramai mengabadikan momen dengan kamera masing masing. Cakrawala jingga itu kembali menatap kami untuk kesekian kalinya. Walau begitu keindahannya selalu saja berbeda dan bertambah tiap waktu. Setiap sudut gunung selalu saja indah, saya kembali ditakjubkan dengan hal ini.

Sayang, sungguh sayang dengan sikap yang telah saya asumsikan terhadap gunung ini. menganggapnya lebih enteng dan mudah. Ternyata gunung Andong juga yang membuat saya kelabakan dan harus memuntahkan ego dan kesombongan. Gunung ini memberikanku banyak pelajaran.

Ternyata setiap gunung tidak bisa dinilai dari seberapa tingginya. Nyatanya dengan ketinggian seperti ini saja membuatku kelelahan dan kaki serta betis terasa tertusuk jarum. Sakit, pegal dan semua jenisnya. Terimakasih  Gunung Andong dengan suguhanmu pada kami.

Share:

Posting Komentar

Membaca Tanpa Bersosialisasi, Hidup Penuh Paradoks

Di era digital ini, membaca dan bersosialisasi bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Di satu sisi, membaca membuka jendela duni...

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes